Minggu, 25 Februari 2018

let's to begin....

hehehehehe....
i'm sorry...
br buat ni....

Rabu, 03 Maret 2010

Tugas Paedagogi III

Pembelajaran konstruktivistik:

Konstruktivis itu sendiri memiliki pengertian, yaitu susunan ataupun tahapan. Disini, kami mengungkapkan pembelajaran konstruktivis itu sebagai bentuk pembelajaran, dimana ada tahap-tahap yang sekiranya dilakukan dalam proses pembelajaran itu sendiri untuk menjadi landasan. Siswa dituntut untuk lebih mandiri dan juga aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan tentang sesuatu dalam benaknya, sedangkan guru berperan sebagai pengarah. Konstruktivis menekankan pemecahan masalah yang kompleks atau rumit menggunakan ketrampilan dasar yang dimiliki dan dibarengi dengan bimbingan dan arahan guru. Sehingga siswa memiliki motivasi yang tinggi dalam dirinya.



Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)

Disini tugas pendidik, hampir sama dengan konstruktivis, yaitu sebagai pengarah siswa dalam melakukan/mempraktekkan pengetahuannya. CTL juga berkaitan denga konstruktivis, karena konstruktivis itu sendiri merupakan landasan berpikir dalam pendekatan CTL, maksudnya adalah pengetahuan itu ada dan tersusun dalam pikiran manusia yang kemudian diaplikasikan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. Inti dari pembelajaran CTL adalah siswa diharapkan belajar melalui “mengalami” atau belajar dari pengalaman.



Pembelajaran Quantum Learning

Prinsipnya, pada strategi pembelajaran ini siswa diberikan sugesti positif ataupun negatif yang dapat mempengaruhi hasil situasi. Contoh pemberian sugesti positif itu misalnya, memasang music saat sedang melakukan aktifitas belajar di kelas, memasang poster-poster menarik yang berisi tentang informasi yang berkaitan tentang materi pelajaran. Dalam hal ini pendidik yang diharapkan adalah guru-guru yang professional dan terlatih dalam seni pengajaran sugesti.





Pembelajaran Quantum Teaching

Quantum teaching ini merupakan pengubahan nuansa belajar yang meriah. Quantum learning ini menekankan bagaimana cara tepat untuk mengajar, bagaimana cara untuk memasuki dunia, baik itu perasaan, pikiran, bahasa tubuh ataupun sikap siswa. Yang bertujuan demi terlaksananya kemudahan dalam sistem belajar-mengajar. Prinsip utamanya adalah untuk membawa dunia kita ke dunia siswa dan sebaliknya dengan maksud agar pendidik dapat memahami dunia para peserta didik.



Pembelajaran Multiple Inteligence

Disini lebih menjelaskan tentang pembagian jenis-jenis kecerdasan, dimana ada sembilan pembagian kecerdasan yaitu:

1. Kecerdasan linguistik

2. Kecerdasan matematis/logis

3. Kecerdasan spasial

4. Kecerdasan kinetis/jasmani

5. Kecerdasan musical

6. Kecerdasan interpersonal

7. Kecerdasan intrapersonal

8. Kecerdasan naturalis

9. Kecerdasan eksistensial

Menekankan bahwa tiap individu memiliki kesembilan kecerdasan di atas, namun tiap individu memiliki kapasitas yang berbeda dalam mengembangkan tiap-tiap poin kecerdasan tersebut. Tiap-tiap kecerdasan tersebut juga saling berkaitan satu sama lain.



Kecerdasan Emosional dalam pembelajaran

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya secara efektif untuk mencapai tujuan. Keterkaitan dengan proses pembelajran adalah dimana keberhasilan seorang individu bagaimana menyelaraskan antara kemampuan IQ dan EQ nya. Dalam hal ini kecerdasan emosional berperan dalam bagaimana cara kita mengatur/meningkatkan motivasi kita, mengatur bagaimana suasana hati kita agar tidak menjadi tertekan yang dapat berakibat terhambatnya proses pemasukan informasi dalam belajar-mengajar.



kelompok 4


Hari Muda (08-002)

Tania Arfiani (08-030)

Dean Mayrisa (08-034)

Ade Ari (08-081)

Erika Gresia (08-098)
Dini Arini (08-100)


daftar pustaka

http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/31/konstruktivisme-6-keunggulan-penggunaan-pandangan-konstruktivisme-dalam-pembelajaran/

http://batoks.wordpress.com/2009/05/14/pembelajaran-multi-intelegens-di-sekolah/
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/akutansi/article/view/3318
http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2010/01/kecerdasan-emosional-dalam-pembelajaran.html
http://pasca.uns.ac.id/?p=211
http://www.docstoc.com/docs/20760167/Pembelajaran-fisika-dengan-pendekatan-konstruktivisme-disertai
http://yudhaart.wordpress.com/2009/11/03/meningkatkan-prestasi-belajar-melalui-pembelajaran-quantum-teaching/
http://www.docstoc.com/docs/22467077/MODEL-PEMBELAJARAN-BERBASIS-CONTEXTUAL-TEACHING-AND-LEARNING-(CTL
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-logika/pendekatan-quantum-teaching
http://www.koranpendidikan.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=163

Sabtu, 27 Februari 2010

tugas kelompok II

Dalam pembaruan di dunia pendidikan itu sejalan dengan globalisasi, dimana pendidikan akan mengalami perkembangan di bagian teknik ataupun sistem pembelajaran. Dalam setiap pembaruan mutlak diperlukan adanya rancangan dan persiapan yang jelas jauh sebelum pembaruan itu dilakukan.

Dalam merealisasikan pembaruan tersebut dituntut adanya peningkatan skill atau kemampuan serta inovasi dalam pendidikan agar tidak terjadi kekacauan.

Selama dalam masa transisi tersebut, pihak pendidik pasti mengalami kendala-kendala tertentu dalam proses menuju suatu perubahan maupun pembaruan, tapi hal tersebut hendaknya masih dapat ditanggulangi dan diadaptasi dengan sejalannya peningkatan skill atau kemampuan.

Setelah semua proses telah dilewati, dan pembaruan tersebut telah terlaksana, maka hendaknya dalam memecahkan suatu masalah atau perkara dapat dengan menggunakan pembaruan tersebut.


Kelompok 4:

Hari Muda (08-002)


Tania Arfiani (08-030)


Dean Mayrisa (08-034)


Ade Ari (08-081)


Erika Gresia (08-098)


Dini Arini (08-100)

tugas individu II

TUGAS INDIVIDU II
Menurut Nisbet, ada 4 tahap yang harus dilewati dalam setiap pembaruan pendidikan, yaitu :
1. The incres in workload (pertambahan beban kerja) ; pembaruan dan eksperimen haruslah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum masalah krisis muncul. Agar tidak kewalahan untuk menggantikan hal yang sudah usang.
Contoh :
Ketika pada masa saya SMA, kurikulum pendidikan berubah menjadi KBK, sebenarnya banyak masalah yang muncul. Hal ini dikarenakan sebelum pembaruan tersebut, tidak dilakukan persiapan yang matang. Kami juga tidak begitu diperkenalkan akan kurikulum KBK ini. Sehingga pelajar, pengajar bahkan penyelenggara kebingungan terhadap kurikulum, metode, teknik ataupun strategi sewaktu menghadapi sistem pendidikan yang baru. Sehingga sebaiknya perlu dipersiapkan lebih awal untuk penyesuaian yang memang membutuhkan waktu.

2. Loss of confidence (kehilangan kepercayaan) ; pendidik harus terus mengisi diri dengan ilmu pengetahuan dan skill untuk pengembangan diri agar dapat menghadapi sistem pendidikan yang baru.
Contoh :
Pada masa saya SMA, sebagian guru sudah cukup dibekali dengan kurikulum KBK ini. Sehingga kami yang tidak begitu paham akan kurikulum ini cukup dibantu oleh para guru untuk lebih memahami kurikulum ini. Pihak sekolah s sering mengadakan penataran untuk para guru, agar guru dapat menjalani s sistem pengajaran yang baru kepada kami, sisw-siswanya.

3. The period of confusion (masa kacau) ; sebelum tujuan dari pembaruan dapat diterima dan dipahami, maka perlu adanya penyesuaian terhadap kekacauan atau kebingungan yang bisa saja timbul. Tetapi dalam hal ini, para pendidik yang telah mempersiapkan dirinya dengan ilmu pengetahuan dan skill, masih dapat menghadapi batas-batas masalah ini.
Contoh :
Ketika beberapa tahun yang lalu kurikulum KBK diberlakukan, maka timbul banyak kebingungan dan kekacauan di sekolah-sekolah. Baik bingung akan metode, teknik ataupun strategi pengajarannya. Guru-guru yang sudah kami sewaktu SMA, yang telah dibekali pengetahuan tentang kurikulum KBK ini, tidak kewalahan lagi dalam melakukan pengajaran. Meskipun kami pelajarnya belum sepenuhnya memahami KBK ini.

4. The blasklash ; setelah penyesuaian, maka masalah-masalah lain yang dapat muncul hendaknya dipecahkan sesuai dengan sistem dari pembaruan.
Contoh :
Masalah-masalah lain dalam sekolah juga dapat muncul setelah penyesuaian tersebut, seperti cara penilaian atau evaluasi akhir, strategi pengajaran, sarana yang akan digunakan. Maka masalah-masalah tersebut diselesaikan sesuai dengan sistem KBK tersebut.

Jumat, 19 Februari 2010

tugas individu 1

BAHKAN MELALUI TUSUK GIGI DAN TUSUK SATE PUN, PROSES BELAJAR TETAP MENGALIR.



Aktivitas kerja manusia sehari-hari tidak lepas akan lepas dari pendidikan. Begitu juga dalam kegiatan kelompok yang telah dilakukan, kami mengalami proses belajar. Siapa yang menyangka, kami diberikan 5 batang tusuk gigi dan 5 batang tusuk sate untuk membuat kerangka bintang. Padahal, awalnya banyak dugaan lucu yang sempat terlintas di pikiran kelompok ketika menerima tusuk-tusuk tersebut. Menurut Degeng (1997), belajar adalah pengaitan pengetahun baru pada stuktur kognitif yang sudah dimiliki si belajar. Dimana kita akan menghubungkan pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki dan tersimpan di memori dan menggunakannya untuk menyelesaikan masalah. Ketika mengerjakan tugas kelompok yang diberikan, kami memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan yang kami miliki untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Untuk membentuk bintang dari 5 batang tusuk gigi dan 5 batang tusuk sate bukanlah hal yang mudah. Buktinya dari 5 kelompok yang ada, tak ada kelompok yang dapat menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu yang singkat. Semuanya membutuhkan waktu untuk memahami, menganalisis, bahkan mengevaluasi. Dalam proses belajar ini, ada beberapa landasan yang dapat diuraiakan.


  1. Landasan Filosofis dalam Pendidikan

Banyak ahli yang mengungkapkan tentang filsafat itu sendiri. Dari beberapa pandangan, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat mencoba untuk mengintegrasikan pengetahuan yang dimiliki dari berbagai pengalaman untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya. manfaat dari filosofi pendidikan tetap terasa ketika proses berlangsung. Ketika menemukan masalah bagaimana caranya membuat agar setiap tusuk saling menyokong, kelompok mulai berpikir kritis. Mulai untuk mencoba banyak cara, dari yang tidak berhasil sama sekali hingga cara yang berhasil. Semua memikirkan titik-titik pada tusuk-tusuk tersebut sebagai titik kekuatannya. Filsafat pendidikan sangat erat hubungannya dengan teori dan praktek. Setiap kelompok mempunyai banyak pengetahuan dari pengalaman yang telah dialami dan mengingatnya untuk digunakan sebagai pemecah masalah tersebut. Kelompok menganalisis setiap cara yang yang dikumpulkan, memilih cara yang diduga akan berhasil, kemudian dibuktikan hingga akhirnya ditemukan cara yang berhasil membuat kerangka bintang itu jadi.

Meskipun penentuan titik kekuatan itu belum sempurna dan cara tersebut hanya dapat dilakukan untuk tusuk sate yang memang ukurannya lebih panjang dari tusuk gigi yang pendek. Dalam hal ini, proses belajar muncul ketika menemukan cara yang salah, tidak akan digunakan lagi untuk menyelesaikan masalah.


  1. Landasan Psikologis dalam Pendidikan

Dalam psikologi, tugas perkembangan dapat didefenisikan sebagai suatu tugas yang timbul pada periode tertentu dalam kehidupan individu. Apabila individu berhasil mencapai tugas tersebut maka akan memberikan kebahagiaan dan keberhasilan untuk menyelesaikan tugas perkembangan berikutnya, dan sebaliknya. Setiap anggota kelompok rata-rata berumur 18 tahun ke atas. Dalam psikologi pada usia ini salah satu istilah oleh Erikson yang dikenal adalah intimacy yang merupakan fase yang bentuknya seperti mengungkapkan cita-cita, kepemimpinan, perjuangan, dan persaingan.

Secara psikologis,dalam mengerjakan tugas kelompok tersebut juga terjadi proses belajar. Ketika mulai mengerjakan tugas tersebut, terlihat karakter, kecakapan, dan cara berpikir dari tiap individu yang berbeda-beda. Kami belajar untuk mengenali perilaku dan cara kerja teman-teman dalam kelompok, agar masing-masing individu nantinya dapat terbiasa bekerja sama dengan teman-teman kelopompoknya. Terbiasa untuk saling menerima, menanggapi, menghargai, hingga menggabungkan ide-ide dari teman-temannya, Sehingga pada akhirnya, tugas-tugas tersebut dapat dengan mudah dikerjakan jika dikerjakan dengan orang-orang yang mulai kita kenal, baik kemampuan kognitifnya, afektifnya bahkan psikomotornya.


  1. Landasan Sosiobudaya dalam Pendidikan

Sejak lahirnya, manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain dengan potensi untuk beradaptasi dan berinteraksi. Dalam proses pengerjaan tugas membuat kerangka bintang ini pun, kelompok mengalami proses belajar dari sudut sosial. Anggota kelompok harus saling berinteraki untuk menyampaikan dan menanggapi pendapat rekan-rekannya. Ketika ingatan tentang membuat kerangka bintang dari generasi sebelumnya misalnya dari orang tua, kakek nenek ataupun keluarga yang lain muncul, cara tersebut diungkapkan dan mulai dipelajari dan dibuktikan. Jika tidak berhasil maka akan dimodifikasi untuk menemukan cara yang baru. Adanya kebiasaan dalam keluarga yang ditunjukkan, merupakan hasil budaya yang dapat dipelajari untuk menyelesaikan masalah dengan pemecah yang baru. sebagai generasi muda, setiap anggota kelompok berusaha mengeluarkan ide-ide baru.


Nama : Erika Gresia S Sihombing

Tanggal penyelesaian : 20 Februari 2010 (pukul 01.36 wib)


Sumber referensi

Salam, H. Burhanuddin. 2002. Pengantar Paedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Riyanto, H. Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

tugas individu 1


BAHKAN MELALUI TUSUK GIGI DAN SATE PUN, PROSES BELAJAR TETAP MENGALIR.

Aktivitas kerja manusia sehari-hari tidak lepas akan lepas dari pendidikan. Begitu juga dalam kegiatan kelompok yang telah dilakukan, kami mengalami proses belajar. Siapa yang menyangka, kami diberikan 5 batang tusuk gigi dan 5 batang tusuk sate untuk membuat kerangka bintang. Padahal, awalnya banyak dugaan lucu yang sempat terlintas di pikiran kelompok ketika menerima tusuk-tusuk tersebut. Menurut Degeng (1997), belajar adalah pengaitan pengetahun baru pada stuktur kognitif yang sudah dimiliki si belajar. Dimana kita akan menghubungkan pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki dan tersimpan di memori dan menggunakannya untuk menyelesaikan masalah. Ketika mengerjakan tugas kelompok yang diberikan, kami memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan yang kami miliki untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Untuk membentuk bintang dari 5 batang tusuk gigi dan 5 batang tusuk sate bukanlah hal yang mudah. Buktinya dari 5 kelompok yang ada, tak ada kelompok yang dapat menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu yang singkat. Semuanya membutuhkan waktu untuk memahami, menganalisis, bahkan mengevaluasi. Dalam proses belajar ini, ada beberapa landasan yang dapat diuraiakan.

  1. Landasan Filosofis dalam Pendidikan

Banyak ahli yang mengungkapkan tentang filsafat itu sendiri. Dari beberapa pandangan, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat mencoba untuk mengintegrasikan pengetahuan yang dimiliki dari berbagai pengalaman untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya. manfaat dari filosofi pendidikan tetap terasa ketika proses berlangsung. Ketika menemukan masalah bagaimana caranya membuat agar setiap tusuk saling menyokong, kelompok mulai berpikir kritis. Mulai untuk mencoba banyak cara, dari yang tidak berhasil sama sekali hingga cara yang berhasil. Semua memikirkan titik-titik pada tusuk-tusuk tersebut sebagai titik kekuatannya. Filsafat pendidikan sangat erat hubungannya dengan teori dan praktek. Setiap kelompok mempunyai banyak pengetahuan dari pengalaman yang telah dialami dan mengingatnya untuk digunakan sebagai pemecah masalah tersebut. Kelompok menganalisis setiap cara yang yang dikumpulkan, memilih cara yang diduga akan berhasil, kemudian dibuktikan hingga akhirnya ditemukan cara yang berhasil membuat kerangka bintang itu jadi.

Meskipun penentuan titik kekuatan itu belum sempurna dan cara tersebut hanya dapat dilakukan untuk tusuk sate yang memang ukurannya lebih panjang dari tusuk gigi yang pendek. Dalam hal ini, proses belajar muncul ketika menemukan cara yang salah, tidak akan digunakan lagi untuk menyelesaikan masalah.

  1. Landasan Psikologis dalam Pendidikan

Dalam psikologi, tugas perkembangan dapat didefenisikan sebagai suatu tugas yang timbul pada periode tertentu dalam kehidupan individu. Apabila individu berhasil mencapai tugas tersebut maka akan memberikan kebahagiaan dan keberhasilan untuk menyelesaikan tugas perkembangan berikutnya, dan sebaliknya. Setiap anggota kelompok rata-rata berumur 18 tahun ke atas. Dalam psikologi pada usia ini salah satu istilah oleh Erikson yang dikenal adalah intimacy yang merupakan fase yang bentuknya seperti mengungkapkan cita-cita, kepemimpinan, perjuangan, dan persaingan.

Secara psikologis,dalam mengerjakan tugas kelompok tersebut juga terjadi proses belajar. Ketika mulai mengerjakan tugas tersebut, terlihat karakter, kecakapan, dan cara berpikir dari tiap individu yang berbeda-beda. Kami belajar untuk mengenali perilaku dan cara kerja teman-teman dalam kelompok, agar masing-masing individu nantinya dapat terbiasa bekerja sama dengan teman-teman kelopompoknya. Terbiasa untuk saling menerima, menanggapi, menghargai, hingga menggabungkan ide-ide dari teman-temannya, Sehingga pada akhirnya, tugas-tugas tersebut dapat dengan mudah dikerjakan jika dikerjakan dengan orang-orang yang mulai kita kenal, baik kemampuan kognitifnya, afektifnya bahkan psikomotornya.

  1. Landasan Sosiobudaya dalam Pendidikan

Sejak lahirnya, manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain dengan potensi untuk beradaptasi dan berinteraksi. Dalam proses pengerjaan tugas membuat kerangka bintang ini pun, kelompok mengalami proses belajar dari sudut sosial. Anggota kelompok harus saling berinteraki untuk menyampaikan dan menanggapi pendapat rekan-rekannya. Ketika ingatan tentang membuat kerangka bintang dari generasi sebelumnya misalnya dari orang tua, kakek nenek ataupun keluarga yang lain muncul, cara tersebut diungkapkan dan mulai dipelajari dan dibuktikan. Jika tidak berhasil maka akan dimodifikasi untuk menemukan cara yang baru. Adanya kebiasaan dalam keluarga yang ditunjukkan, merupakan hasil budaya yang dapat dipelajari untuk menyelesaikan masalah dengan pemecah yang baru. sebagai generasi muda, setiap anggota kelompok berusaha mengeluarkan ide-ide baru.

Nama : Erika Gresia S Sihombing

Tanggal penyelesaian : 20 Februari 2010 (pukul 01.36 wib)

Sumber referensi

Salam, H. Burhanuddin. 2002. Pengantar Paedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Riyanto, H. Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.


BAHKAN MELALUI TUSUK GIGI DAN SATE PUN, PROSES BELAJAR TETAP MENGALIR.

Aktivitas kerja manusia sehari-hari tidak lepas akan lepas dari pendidikan. Begitu juga dalam kegiatan kelompok yang telah dilakukan, kami mengalami proses belajar. Siapa yang menyangka, kami diberikan 5 batang tusuk gigi dan 5 batang tusuk sate untuk membuat kerangka bintang. Padahal, awalnya banyak dugaan lucu yang sempat terlintas di pikiran kelompok ketika menerima tusuk-tusuk tersebut. Menurut Degeng (1997), belajar adalah pengaitan pengetahun baru pada stuktur kognitif yang sudah dimiliki si belajar. Dimana kita akan menghubungkan pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki dan tersimpan di memori dan menggunakannya untuk menyelesaikan masalah. Ketika mengerjakan tugas kelompok yang diberikan, kami memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan yang kami miliki untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Untuk membentuk bintang dari 5 batang tusuk gigi dan 5 batang tusuk sate bukanlah hal yang mudah. Buktinya dari 5 kelompok yang ada, tak ada kelompok yang dapat menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu yang singkat. Semuanya membutuhkan waktu untuk memahami, menganalisis, bahkan mengevaluasi. Dalam proses belajar ini, ada beberapa landasan yang dapat diuraiakan.

  1. Landasan Filosofis dalam Pendidikan

Banyak ahli yang mengungkapkan tentang filsafat itu sendiri. Dari beberapa pandangan, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat mencoba untuk mengintegrasikan pengetahuan yang dimiliki dari berbagai pengalaman untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya. manfaat dari filosofi pendidikan tetap terasa ketika proses berlangsung. Ketika menemukan masalah bagaimana caranya membuat agar setiap tusuk saling menyokong, kelompok mulai berpikir kritis. Mulai untuk mencoba banyak cara, dari yang tidak berhasil sama sekali hingga cara yang berhasil. Semua memikirkan titik-titik pada tusuk-tusuk tersebut sebagai titik kekuatannya. Filsafat pendidikan sangat erat hubungannya dengan teori dan praktek. Setiap kelompok mempunyai banyak pengetahuan dari pengalaman yang telah dialami dan mengingatnya untuk digunakan sebagai pemecah masalah tersebut. Kelompok menganalisis setiap cara yang yang dikumpulkan, memilih cara yang diduga akan berhasil, kemudian dibuktikan hingga akhirnya ditemukan cara yang berhasil membuat kerangka bintang itu jadi.

Meskipun penentuan titik kekuatan itu belum sempurna dan cara tersebut hanya dapat dilakukan untuk tusuk sate yang memang ukurannya lebih panjang dari tusuk gigi yang pendek. Dalam hal ini, proses belajar muncul ketika menemukan cara yang salah, tidak akan digunakan lagi untuk menyelesaikan masalah.

  1. Landasan Psikologis dalam Pendidikan

Dalam psikologi, tugas perkembangan dapat didefenisikan sebagai suatu tugas yang timbul pada periode tertentu dalam kehidupan individu. Apabila individu berhasil mencapai tugas tersebut maka akan memberikan kebahagiaan dan keberhasilan untuk menyelesaikan tugas perkembangan berikutnya, dan sebaliknya. Setiap anggota kelompok rata-rata berumur 18 tahun ke atas. Dalam psikologi pada usia ini salah satu istilah oleh Erikson yang dikenal adalah intimacy yang merupakan fase yang bentuknya seperti mengungkapkan cita-cita, kepemimpinan, perjuangan, dan persaingan.

Secara psikologis,dalam mengerjakan tugas kelompok tersebut juga terjadi proses belajar. Ketika mulai mengerjakan tugas tersebut, terlihat karakter, kecakapan, dan cara berpikir dari tiap individu yang berbeda-beda. Kami belajar untuk mengenali perilaku dan cara kerja teman-teman dalam kelompok, agar masing-masing individu nantinya dapat terbiasa bekerja sama dengan teman-teman kelopompoknya. Terbiasa untuk saling menerima, menanggapi, menghargai, hingga menggabungkan ide-ide dari teman-temannya, Sehingga pada akhirnya, tugas-tugas tersebut dapat dengan mudah dikerjakan jika dikerjakan dengan orang-orang yang mulai kita kenal, baik kemampuan kognitifnya, afektifnya bahkan psikomotornya.

  1. Landasan Sosiobudaya dalam Pendidikan

Sejak lahirnya, manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain dengan potensi untuk beradaptasi dan berinteraksi. Dalam proses pengerjaan tugas membuat kerangka bintang ini pun, kelompok mengalami proses belajar dari sudut sosial. Anggota kelompok harus saling berinteraki untuk menyampaikan dan menanggapi pendapat rekan-rekannya. Ketika ingatan tentang membuat kerangka bintang dari generasi sebelumnya misalnya dari orang tua, kakek nenek ataupun keluarga yang lain muncul, cara tersebut diungkapkan dan mulai dipelajari dan dibuktikan. Jika tidak berhasil maka akan dimodifikasi untuk menemukan cara yang baru. Adanya kebiasaan dalam keluarga yang ditunjukkan, merupakan hasil budaya yang dapat dipelajari untuk menyelesaikan masalah dengan pemecah yang baru. sebagai generasi muda, setiap anggota kelompok berusaha mengeluarkan ide-ide baru.

Nama : Erika Gresia S Sihombing

Tanggal penyelesaian : 20 Februari 2010 (pukul 01.36 wib)

Sumber referensi

Salam, H. Burhanuddin. 2002. Pengantar Paedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Riyanto, H. Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.